Sepanjang Sabtu tadi, dari pagi sampai sore berkesempatan untuk hadir pada acara Final Sprint sebuah agensi perusahaan asuransi disebuah rumah makan terkenal di kota ini.
Salah seorang pembicara bercerita tentang pentingnya sikap antusias dalam menjalankan usaha. Katanya, tanpa sikap antusias, para agen tidak akan mampu berbuat apa-apa. Konon katanya, kata ini berasal dari bahasa Yunani, yang tadi sempat tidak cukup jelas apa artinya karena kebisingan di tempat acara.
Akhirnya, browsing sana sini dan dapat beberapa definisi , salah satunya dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indinesia), hasilnya adalah :
antusiasme/an·tu·si·as·me/ n kegairahan; gelora semangat; minat besar thd sesuatu.
Ketemu lagi dari artikel di kompasiana, dari tulisan pak Tjiptadinata Effendi , Antusiasme- Kunci Meraih Sukses Anda! Published: 21.03.13, dimana disana diceritakan tentang asal usul kata antusiasme, yang benar berasal dari bahasa Greece (Yunani) kuno,yaitu :" entheos",yang berarti :"Tuhan Menyertai".
Akan tetapi, yang agak membuat saya merasa sedikit aneh karena dalam bahasa Indonesia dipahami
sebagai :" kegairahan, gelora semangat; minat besar terhadap sesuatu, semangat yang berapi api atau bisa juga disebut
sebagai: "terobsesi" terhadap sesuatu (yang ingin dicapai)".
Saya bingung, kenapa esensi asli kata "entheos" yang berarti "Tuhan Menyertai" menjadi tidak ada lagi ketika ini menjadi sebuah pengertian dalam bahasa Indonesia ? apakah ini karena sebelum sampai di Indonesia, kata ini mesti melanglang buana dulu ke negeri-negeri lain, mengalami berbagai metamorfosis sehingga menjadi seperti yang tertulis dalam KBBI ?
Adakah yang bisa membantu menjelaskan hal ini ?
Semakin banyak kita berbagi, maka kita akan semakin kaya. Semakin banyak pengetahuan dan wawasan yang kita bagikan kepada sesama, maka akan semakin banyak pengetahuan yang kita terima dan wawasan pun semakin luas, karena orang lain pun akan membagikan pengetahuan dan wawasannya untuk kita. Syaratnya, kerelaan untuk berbagi dan keterbukan hati untuk menerima pendapat orang lain, yang mungkin saja berbeda pandangan.
Sabtu, 19 September 2015
Minggu, 06 September 2015
Mencicil masa depan 2
Melanjutkan tulisan sebelumnya tentang beban cicilan setiap bulan.
Kali ini masih juga berbicara tentang cicilan . tapi kali ini sedikit berbeda. Kalau yang kemarin bicara tentang cicilan beli mobil, beli kursi atau beli TV , yang mana mobilnya, kursinya atau tvnya sudah bisa kita nikmati dan dimanfaatkan kegunaanya di awal, kali pembicaraannya tentang cicilan yang belum dapat kita nikmati kecuali ketika kondisi 'kepepet yang cukup dahsyat' terjadi.
Berbicara tentang kondisi kepepet, ada banyak ukuran. Nggak punya duit buat ke bioskop, kepepet. Nggak punya punya duit buat beli gadget terbaru bisa disebut kepepet. Nggak punya duit buat ke salon, juga kepepet. Karena kasus kepepet diatas , ada orang yang akhirnya hobi pinjam uang temennya, hanya untuk mengatasi kepepet yang tadi. Jadi setiap bulan kondisinya kepepet terus, karena mesti bayar utang yang tak berkesudahan. Cukup memprihatinkan.
Ada juga kepepet level menengah, seperti butuh biaya benerin rumah, biaya masuk sekolah anak, biaya ke dokter gigi, biaya berobat jalan dan lain-lain. Biasanya, untuk mengatasi kondisi kepepet level ini, kita gunakan dana cadangan yang ada di rekening tabungan. Dalam kasus ini, kita biasanya punya persiapan memadai, meskipun kadang ndak cukup bila dananya terlalu besar. Solusi mudah adalah bon di kantor, atau pakai pinjaman tanpa agunan di bank (kalau masih dipercaya sama bank).
Ada lagi kepepet yang lebih besar. Setidaknya ada 3 'kepepet berat' bagi sebuah keluarga. Ketika sang penopang ekonomi keluarga mengalami tiga hal, pertama sakit berat sehingga tidak bisa produktif dalam jangka waktu lama, kedua sakit kronis / cacat dan tidak bisa bekerja lagi selamanya, atau yang ketiga harus berpulang kepada Sang Pencipta saat anak-anak belum mampu untuk mandiri. Ini kondisi kekepet berat yang bisa saja terjadi pada siapa saja dan keluarga mana saja. Resikonya adalah kondisi ekonomi / keuangan keluarga akan mengalami guncangan, atau istilah keren-nya Financial Disaster.
Untuk mengurangi resiko ketika terjadi kondisi kepepet golongan ketiga tadi, ada beberapa hal yang bisa kita rencanakan dari sekarang. Memiliki simpanan berupa tabungan atau asset dalam jumlah yang memadai adalah salah satu solusinya. Misalnya menabung secara rutin di bank, membeli properti atau asset yang selalu naik nilainya (tanah, rumah , ruko dan lain-lain). Selain itu, kita juga bisa beli reksadana, obligasi atau saham, namun yang terakhir ini perlu pengetahuan yang lumayan dibidang tersebut.
Namun, ada hal-hal yang juga mesti diperhitungkan atas beberapa cara diatas. Uang tabungan di bank sangat mudah diambil, sehingga kadang-kadang terpakai oleh 'kepepet golongan pertama'. Membeli property yang bagus butuh modal yang lumayan dan peluang tidak selalu tersedia, disamping itu meskipun kenaikan harga properti terbilang tinggi, tetapi properti termasuk aset yang tidak mudah ditunaikan dalam waktu cepat.
Ada cara lain sebagai solusi untuk berjaga-jaga menghadapi masa depan yang tidak pasti, masa depan yang kita harapkan dalam setiap do'a kita adalah masa yang mulus tanpa ada hal-hal yang mengganggu, tapi potensi terjadinya financial disaster tetap tidak bisa kita anggap nihil begitu saja.
Untuk itu, mencicil masa depan tetap menjadi keharusan, baik untuk kehidupan di dunia maupun di kehidupan yang abadi nanti.
Kali ini masih juga berbicara tentang cicilan . tapi kali ini sedikit berbeda. Kalau yang kemarin bicara tentang cicilan beli mobil, beli kursi atau beli TV , yang mana mobilnya, kursinya atau tvnya sudah bisa kita nikmati dan dimanfaatkan kegunaanya di awal, kali pembicaraannya tentang cicilan yang belum dapat kita nikmati kecuali ketika kondisi 'kepepet yang cukup dahsyat' terjadi.
Berbicara tentang kondisi kepepet, ada banyak ukuran. Nggak punya duit buat ke bioskop, kepepet. Nggak punya punya duit buat beli gadget terbaru bisa disebut kepepet. Nggak punya duit buat ke salon, juga kepepet. Karena kasus kepepet diatas , ada orang yang akhirnya hobi pinjam uang temennya, hanya untuk mengatasi kepepet yang tadi. Jadi setiap bulan kondisinya kepepet terus, karena mesti bayar utang yang tak berkesudahan. Cukup memprihatinkan.
Ada juga kepepet level menengah, seperti butuh biaya benerin rumah, biaya masuk sekolah anak, biaya ke dokter gigi, biaya berobat jalan dan lain-lain. Biasanya, untuk mengatasi kondisi kepepet level ini, kita gunakan dana cadangan yang ada di rekening tabungan. Dalam kasus ini, kita biasanya punya persiapan memadai, meskipun kadang ndak cukup bila dananya terlalu besar. Solusi mudah adalah bon di kantor, atau pakai pinjaman tanpa agunan di bank (kalau masih dipercaya sama bank).
Ada lagi kepepet yang lebih besar. Setidaknya ada 3 'kepepet berat' bagi sebuah keluarga. Ketika sang penopang ekonomi keluarga mengalami tiga hal, pertama sakit berat sehingga tidak bisa produktif dalam jangka waktu lama, kedua sakit kronis / cacat dan tidak bisa bekerja lagi selamanya, atau yang ketiga harus berpulang kepada Sang Pencipta saat anak-anak belum mampu untuk mandiri. Ini kondisi kekepet berat yang bisa saja terjadi pada siapa saja dan keluarga mana saja. Resikonya adalah kondisi ekonomi / keuangan keluarga akan mengalami guncangan, atau istilah keren-nya Financial Disaster.
Untuk mengurangi resiko ketika terjadi kondisi kepepet golongan ketiga tadi, ada beberapa hal yang bisa kita rencanakan dari sekarang. Memiliki simpanan berupa tabungan atau asset dalam jumlah yang memadai adalah salah satu solusinya. Misalnya menabung secara rutin di bank, membeli properti atau asset yang selalu naik nilainya (tanah, rumah , ruko dan lain-lain). Selain itu, kita juga bisa beli reksadana, obligasi atau saham, namun yang terakhir ini perlu pengetahuan yang lumayan dibidang tersebut.
Namun, ada hal-hal yang juga mesti diperhitungkan atas beberapa cara diatas. Uang tabungan di bank sangat mudah diambil, sehingga kadang-kadang terpakai oleh 'kepepet golongan pertama'. Membeli property yang bagus butuh modal yang lumayan dan peluang tidak selalu tersedia, disamping itu meskipun kenaikan harga properti terbilang tinggi, tetapi properti termasuk aset yang tidak mudah ditunaikan dalam waktu cepat.
Ada cara lain sebagai solusi untuk berjaga-jaga menghadapi masa depan yang tidak pasti, masa depan yang kita harapkan dalam setiap do'a kita adalah masa yang mulus tanpa ada hal-hal yang mengganggu, tapi potensi terjadinya financial disaster tetap tidak bisa kita anggap nihil begitu saja.
Untuk itu, mencicil masa depan tetap menjadi keharusan, baik untuk kehidupan di dunia maupun di kehidupan yang abadi nanti.
Rabu, 02 September 2015
Mencicil masa depan ......, apa itu ?
Saat ini, di abad yang katanya modern ini, adakah keluarga yang tidak punya kewajiban bulanan berupa cicilan ?
Kebanyakan rumah tangga punya kewajiban pengeluaran rutin yang namanya cicilan, mulai cicilan kepemilikan rumah, cicilan mobil, motor, perabotan rumah dan elektronik, bahkan gadget pun bisa dicicil. Nggak ketinggalan, cicilan bon di warung terdekat dan cicilan kartu kredit.
Banyak orang tertatih - tatih membayar berbagai cicilan. Apalagi jika cicilan bersifat konsumtif, yang dibeli berdasarkan gengsi dan gaya-gayaan. Sesungguhnya, ada beberapa saran untuk mengendalikan cicilan bulanan, diantaranya adalah :
Pertama, alasan berhutang. Sebelum ambil keputusan untuk berhutang, evaluasi dulu apakah itu kebutuhan atau keinginan , bisakah dibeli tunai atau sudah mendesak sehingga butuh / terpaksa dibeli dengan pinjaman. Bagi keluarga muda, pinjaman / kredit rumah tinggal adalah prioritas.
Kedua , jumlah cicilan setiap bulannya. Cicilan pinjaman usahakan maksimal hanya 35% dari rata-rata pendapatan bulanan. Alokasi ini adalah jumlah total cicilan pinjaman yang wajib ditunaikan tiap bulan.
Ketiga, dari semua cicilan / kredit, cicilan KPR sebaiknya maksimal 20% dari pendapatan per bulan , sedang 15% yang lain bisa dialokasikan untuk kredit yang lain, seperti kendaraan atau perabotan. Persoalannya, di daerah tertentu harga rumah sudah sedemikian mahal, sehingga pola ini cukup berat untuk diterapkan. Perlu kebijakan pemerintah untuk mengendalikan kenaikan harga rumah.
Ada utang kartu kredit? Jangan biasakan membayar utang kartu kredit dengan cicilan. Bunganya mencekik leher, kisarannya 3% - 4%, itu artinya 24% - 36% per tahun. Pastikan selalu membayar lunas tagihan kartu kredit setidaknya sehari sebelum jatuh tempo pembayaran.
Ada lagi yang belum dibahas lebih lanjut..., yaitu cicilan masa depan, cicilan yang kita bayar sekarang tapi hasilnya akan kita nikmati di masa yang akan datang. Nantikan artikel berikutnya....
Kebanyakan rumah tangga punya kewajiban pengeluaran rutin yang namanya cicilan, mulai cicilan kepemilikan rumah, cicilan mobil, motor, perabotan rumah dan elektronik, bahkan gadget pun bisa dicicil. Nggak ketinggalan, cicilan bon di warung terdekat dan cicilan kartu kredit.
Banyak orang tertatih - tatih membayar berbagai cicilan. Apalagi jika cicilan bersifat konsumtif, yang dibeli berdasarkan gengsi dan gaya-gayaan. Sesungguhnya, ada beberapa saran untuk mengendalikan cicilan bulanan, diantaranya adalah :
Pertama, alasan berhutang. Sebelum ambil keputusan untuk berhutang, evaluasi dulu apakah itu kebutuhan atau keinginan , bisakah dibeli tunai atau sudah mendesak sehingga butuh / terpaksa dibeli dengan pinjaman. Bagi keluarga muda, pinjaman / kredit rumah tinggal adalah prioritas.
Kedua , jumlah cicilan setiap bulannya. Cicilan pinjaman usahakan maksimal hanya 35% dari rata-rata pendapatan bulanan. Alokasi ini adalah jumlah total cicilan pinjaman yang wajib ditunaikan tiap bulan.
Ketiga, dari semua cicilan / kredit, cicilan KPR sebaiknya maksimal 20% dari pendapatan per bulan , sedang 15% yang lain bisa dialokasikan untuk kredit yang lain, seperti kendaraan atau perabotan. Persoalannya, di daerah tertentu harga rumah sudah sedemikian mahal, sehingga pola ini cukup berat untuk diterapkan. Perlu kebijakan pemerintah untuk mengendalikan kenaikan harga rumah.
Ada utang kartu kredit? Jangan biasakan membayar utang kartu kredit dengan cicilan. Bunganya mencekik leher, kisarannya 3% - 4%, itu artinya 24% - 36% per tahun. Pastikan selalu membayar lunas tagihan kartu kredit setidaknya sehari sebelum jatuh tempo pembayaran.
Ada lagi yang belum dibahas lebih lanjut..., yaitu cicilan masa depan, cicilan yang kita bayar sekarang tapi hasilnya akan kita nikmati di masa yang akan datang. Nantikan artikel berikutnya....
Jumat, 21 Agustus 2015
Rumah Sakit Pilihan
Diary 17 Agustus 2015.
“Hari ini, tanggal 17
Agustus 2015, ternyata ada 15 teman facebook yang berulang tahun. Rekor baru
untuk ngucapin HBD, mendoakan semoga diberikan umur yang panjang, sehat dan
barokah.”
Membaca kembali diary itu, jadi teringat bahwa kelahiran
anak tanggal 17 Agustus jadi terasa istimewa, dirayakan rame-rame oleh seluruh
bangsa, di dalam dan di luar negeri. Seru.
Tidak mau ketinggalan, seorang temanpun memilih untuk melahirkan
anaknya secara caesar di tanggal tersebut, 17 Agustus 2015. Ketika periksa ke
bidan dan diketahui hamil, maka mulailah kesibukan untuk menentukan mau
melahirkan dimana ? di bidan atau dokter kandungan ? mau persalinan biasa atau
mau operasi caesar.
Ini cerita sang teman bersama istrinya.
Ketika kandungan menginjak
bulan ketiga, kami keliling kota Bandar Lampung untuk survei, mencari rumah
sakit yang cocok dihati, dan cocok di kantong tentunya. Cukup hati-hati siiih,
terutama dari sisi kantong, maklum karena perusahaan juga hanya menanggung
biaya persalinan dalam jumlah yang tidak banyak. Tapi kami tetap bersyukur, karena toh kami sekeluarga
memang sudah mempersiapkan.
Setiap hari minggu sore, jalan-jalan keliling kota, lihat –
lihat rumah sakit ibu dan anak. Membandingkan postur gedung, membandingkan
pelayanan dan keramahan petugasnya, fasilitasnya, dan tak terkecuali biayanya
dan siapa dokternya.
Sebulan berlalu, sudah lima rumah sakit disambangi, belum
juga mantab di hati. Tapi tak apa, demi
buah hati kami memang mesti berhati-hati.
Hari itu, dari arah Tanjung Karang kami menyusuri jalan
protokol di Jalan Diponegoro, sampai Masjid Al-Furqon berbelok ke Jalan dr.
Susilo, disitu merupakan area kantor pemerintah dan perumahan pegawai negeri era enam puluhan, Pahoman
namanya. Sebelum lampu merah, tiba-tiba terlihat papan nama praktek dokter,
cukup lebar dan banyak nama dokter disitu. Tapi aneh..., tidak terlihat ada
bangunan bernama rumah sakit disitu, yang ada bangunan mirip hotel atau
perkantoran yang mewah, berlapis kaca dengan selingan batu alam yang kokoh.
Akhirnya, kami berhenti
untuk memperhatikan lebih seksama. Ternyata ada pole sign yang menandakan bahwa itu rumah sakit, namanya RSIA Bunda
Asy-Syifa. Disitu ada dokter kandungan, ada dokter anak, dokter penyakit dalam.
Bangunan yang terlihat mewah dan menandakan ‘hanya untuk kalangan berduit’ membuat saya dan istri sedikit ragu.
Tapi tak apalah. Akhirnya kukatakan pada istri, “Kita kan bisa
nanya-nanya aja, kalau kita nggak mampu ya jangan periksa disini.” Dengan sedikit
rasa nggak pede, kami masuk lobby. Terlihat lampu kristal dan dinding marmer
yang menjulang tinggi membuat nyali kami semakin ciut.
Tapi, sapa ramah petugas security dan customer service
membuyarkan ‘kengerian kami’. Akhirnya obrolan pun mengalir dengan cair, kebetulan hari
minggu, tidak ada dokter spesialis yang
praktek. Jadi kemi leluasa untuk ngobrol dengan mbak customer service yang
ternyata seorang bidan. Kata istri saya, rasanya seperti konsultasi gratis. Mumpung
gratis jadi banyak nanya. Ketika obrolan sudah mengarah pada wilayah obrolan ibu-ibu, saya
pamit untuk keliling, melihat-lihat.
Tidak disangka , ternyata saya ndak dibiarkan sendirian
keliling, tapi ditemani seorang perawat yang menjelaskan ini itunya rumah
sakit. Ruang lobby dan pendaftaran menunjukkan aura yang elegan. Ketika menengok
sisi depan ruang dokter, kesan lembut dan ramah jadi lebih terasa oleh
sofa-sofa yang santai dan lembut, tv LCD yang besar dan bahan bacaan berjajar
di rak, yang sayangnya bukunya terkesan kurang terawat, berapa diantaranya kusut
dan sobek.
Masuk ke ruang rawat inap lebih terasa lagi, ndak seperti masuk rumah
sakit , tapi seperti masuk kamar hotel, dengan kamar mandi yang elegan. Yang
membedakan cuma tempat tidurnya. Kamar kelas dua pun sudah satu pasien satu
kamar, ndak seperti di rumah sakit lain. Tata ruangnya sungguh membuat saya betah untuk berlama-lama. Rapih,
bersih, lengkap, dan elegan selalu tercermin di tiap sudutnya.
Kata mbak perawat, ada kamar yang paling bagus, President
Suite namanya, waktu diintip ternyata mirip sama kamar hotel berbintang, view laut lagi. Luas, ada
sofa, meja makan, mini bar dan meja rias. Saya bilang woow...., berapa tuh
harganya ? Nggak mahal kok... kata mbak perawat yang dampingi saya sambil
menyebut sebuah angka, tapi kok nggak enak kalau ditulis disini.
Satu lagi selain elegan dan mewah. Kata mbak perawat, ada
beberapa peralatan yang jadi unggulan di rumah sakit ini. Yaitu peralatan untuk
perawatan bayi lahir prematur dan lahir kurang berat badan. Konon katanya baru
beberapa rumah sakit pemerintah yang punya alat sejenis di Lampung.
Saya pun turun kembali ke lobby, istri saya pun cerita bahwa
biaya persalinannya pun tidak semahal yang kita duga, ndak beda jauh sama rumah
sakit lain. Rasanya cukup sebanding dengan faslitas dan sarananya.
Akhirnya, sang teman pun rutin periksa hamil disitu, di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Asy-Syifa. Dan tanggal 17 Agustus 2015 pun menjadi pilihan untuk melahirkan dengan cara Operasi Caesar. Tak disangka, ternyata banyak orang lain yang juga memilih hari itu sebagai hari persalinan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Asy-Syifa. Ada 7 orang yang melahirkan disana pada hari itu.
Akhirnya, sang teman pun rutin periksa hamil disitu, di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Asy-Syifa. Dan tanggal 17 Agustus 2015 pun menjadi pilihan untuk melahirkan dengan cara Operasi Caesar. Tak disangka, ternyata banyak orang lain yang juga memilih hari itu sebagai hari persalinan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Asy-Syifa. Ada 7 orang yang melahirkan disana pada hari itu.
Demikian cerita dari seorang teman, yang waktu itu tidak sempat saya
kunjungi ketika berada di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Asy-Syifa.
Senin, 17 Agustus 2015
Bersiap untuk pulang kampung setiap saat
Dikutip dari
situs moslemforall.com : Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas ra bahwa
Rasulullah SAW bersabda : “Bahwa Malaikat Maut Memperhatikan Wajah Manusia
di Muka Bumi ini 70 kali dalam sehari. Ketika Izrail datang Merenungi Wajah
Seseorang, didapati orang itu Sedang Bergelak-Ketawa. Maka Berkata Izrail :
‘Alangkah Herannya aku Melihat orang ini, Padahal Aku diUtus oleh Allah untuk
Mencabut Nyawanya Kapan saja, Tetapi dia Masih Terlihat Bodoh dan Bergelak
ketawa.”
Seorang
Sahabat Pernah Bertanya : “Wahai Rasulullah, Siapakah orang Mukmin yang
paling Cerdas ?” Rasululloh SAW Menjawab: “Yang paling banyak Mengingat
Mati, Kemudian yang Paling Baik dalam Mempersiapkan Kematian tersebut, itulah
orang yang paling Cerdas.”
[HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy] – “MARI KITA SELALU INGAT ALLAH dan INGAT MATI dan JANGAN BER-SENANG2 YANG BERLEBIHAN”
[HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy] – “MARI KITA SELALU INGAT ALLAH dan INGAT MATI dan JANGAN BER-SENANG2 YANG BERLEBIHAN”
Membaca
artikel diatas, yang pertama harus kita lakukan adalah meyakininya. Kalau kita
nggak meyakini hadits tersebut, rasa nya sulit untuk sadar bahwa kita harus
bersiap kapanpun juga untuk menghadapi kematian. Kita diintai 70 kali dalam
sehari, sholat saja cuma lima kali dalam sehari, masih ditunda-tunda juga,
bahkan kadang lewat.
Tapi ngomong
– ngomong, apa sih yang mesti kita siapkan untuk menghadapi kematian ?
- Kematian ibarat orang pulang kampung. Orang pulang kampung untuk selamanya, jadi mesti bawa bekal berupa amal, ibadah dan kebajikan yang cukup untuk biaya hidup disana, karena acara disana adalah menikmati bekal yang kita bawa dari tanah rantau, kita nggak bisa lagi mengumpulkan bekal disana, yang bisa kita tunggu hanya kiriman dari anak-anak kita yang sholeh, ilmu yang bermanfaat dan amal jariyah yang kita tinggalkan.
- Sayangnya, pulang kampung yang ini tidak bisa dipastikan bahwa anak istri ikut pulang kampung bersamaan. Bisa jadi kita berangkat duluan dan anak istri masih tinggal di tanah rantau (dunia). Seorang kepala keluarga yang “pulang kampung” tanpa meninggalkan bekal yang cukup bagi anggota kelurga adalah sebuah kenestapaan. Bekal itu bisa berupa ilmu yang bermanfaat, pendidikan agama dan keimanan yang kuat. Yang tak kalah penting, warisan berupa harta benda untuk biaya hidup, biaya pendidikan dan segala kebutuhan dunia lainya, karena mereka yang kita tinggalkan pasti membutuhkannya.
Pertanyaan
selanjutnya, sampai hari ini.... apa saja yang sudah kita persiapkan untuk diri
kita, untuk anak dan istri kita ?
Minggu, 16 Agustus 2015
Enggan berasuransi
Membaca informasi yang dirilis Dewan Asuransi Indonesia
berdasar data tahun lalu (2014), ditemukan fakta bahwa dari sekitar 240 juta
penduduk Indonesia, yang faham asuransi jiwa ada 18 %. Cukup lumayan
sesungguhnya. Persoalannya, ternyata yang kemudian membeli dan memiliki
proteksi asuransi baru 12 %. Artinya, yang 6 % pada ngapain ?
Contoh yang mirip, kita tahu bahwa merokok itu membahayakan
kesehatan, tapi kita tak mampu untuk segera meninggalkan kebiasaan mengisap rokok.
Penginnya sih berhenti merokok, tapi besok,
besoknya lagi .... dan lagi.. Sama
kasusnya, kita faham bahwa asuransi jiwa itu penting, tapi kenapa kita tidak
segera memiliki polis asuransi ? Padahal semakin kita menunda, semakin tua umur
kita, untuk mendapatkan uang pertanggungan yang sama, semakin mahal biaya
preminya.
Kenapa sih kita enggan berasuransi ?
Alasannya
adalah :
- Merasa bahwa masih banyak kebutuhan lain yang lebih urgent dibanding membayar premi, dalam arti kita masih punya hobi menunda-nunda. Kita tidak menyadari secara penuh bahwa “musibah keuangan” (financial disaster) dapat terjadi kapan saja, tanpa bisa minta dispensasi untuk ditunda.
- Kita masih belum bisa berpikir seperti ini : “Yang akan menikmati uang premi yang kita bayarkan adalah perusahaan asuransi dan agen, kita tidak banyak berpikir tentang manfaat yang akan kita terima saat memiliki polis dan tertimpa musibah.
- Padahal , kita bisa berpikir seperti ini : "Dengan membayar premi secara tabarru’ (charity), kita telah berbagi resiko dengan nasabah lain yang memerlukan, berarti kita membantu meringankan beban orang lain. Wajar kalau perusahaan asuransi mengambil sebagian uang premi kita, karena mereka perlu bayar karyawan, bayar listrik, beli kertas dan lain lain untuk melayani kebutuhan kita. Wajar bahwa agen asuransi dapat komisi, karena mereka telah bersusah payah memberikan penjelasan tentang pentingnya asuransi kepada kita, menyediakan waktu , tenaga dan pikirannya ketika kita butuh konsultasi tentang asuransi dan membantu kita saat mengajukan klaim.”
- Cerita tentang kasus salah beli asuransi oleh orang yang kita kenal membuat kita merasa bahwa asuransi itu mubazir, tidak bermanfaat. Padahal sesungguhnya kasusnya adalah salah beli, yang mana ini bisa disebabkan oleh agen yang tidak meminta data calon nasabah secara menyeluruh dan memberikan penjelasan berbagai macam produk asuransi secara detail. Dari sini muncul generalisasi bahwa asuransi tidak bermanfaat.
Demikian cerita ini, semoga bermanfaat.
Sabtu, 15 Agustus 2015
Ditelepon sales asuransi
Saya sedikit kaget ketika seorang teman datang ke ruangan kerja sambil 'misuh-misuh' nggak karuan, dan ketika saya tanya " Ada apa sih .... ada yang nggak beres ? ditagih orang kantin ya ?" Ditanya dengan pertanyaan berganda , jawaban si teman pun berlipat banyaknya . " Itu lho..., bisa-bisanya orang bank XXXXX kasih nomor telpon saya ke sales asuransi, jadinya bolak-balik ditelpon ditawarin asuransi..., udah bilang nggak mau masih juga ngotot, dibilang udah punya asuransi masih bilang yang ini beda, bisa double claim lah, premi bisa dinegosiasi lah. Dibilang lagi meeting masih ditanya kapan bisa ditelepon lagi , yaa Allaah.... kan mengganggu banget."
Itulah respon kebanyakan kita ketika menerima telepon dari sales asuransi. Kita nggak kenal sama yang nelpon. Telpon datang tanpa konfimasi, tiba-tiba menelepon dari kantor marketing mereka di Jakarta ~ini dilihat dari nomor telepon yang mereka gunakan~, sedangkan kita ada di Lampung. Mereka nggak peduli kita lagi ngapain, tau-tau minta waktu mau ngomong. Kalau dibilang lagi sibuk, masih nanya jam berapa bisa ditelepon lagi. Sejauh ini, belum ada yang nanya jam berapa bisa ketemuan.
Kalau dibilang mengganggu , ya.. bisa jadi. Kalau mau kita bilang mereka nggak tau malu, mungkin juga. Bagi saya , telemarketing membuat kita tidak nyaman, karena kita dalam kondisi yang tidak siap menerima penjelasa ini itu, apalagi untuk memutuskan sesuatu.
Tapi sesungguhnya...., bisakah kita berpikir lebih positif ?
Telepon telemarketing asuransi tadi bisa kita anggap sebagai peringatan, warning. Bisa jadi itu peringatan yang datang dari Yang Maha Kuasa, yang menggerakkan seseorang untuk menelepon bahwa kita harus menyiapkan sesuatu untuk berjaga-jaga, dalam bentuk pertanggungan asuransi.
Perkara kita membeli dari orang yang menelepon tadi atau membeli dari orang lain..., itu soal pilihan. Setiap merk punya keunggulan masing-masing, setiap sales punya daya tarik masing-masing. Kita punya hak sepenuhnya untuk memilih.
Tapi kenapa sih... kita perlu menyiapkan pertanggungan asuransi ? Berserah diri kepada Tuhan YME emang nggak cukup ? Hidup - mati kita kan kehendak Allah SWT.
Aaahh.....apa iya siii...................... coba kita renungkan dulu.............
Itulah respon kebanyakan kita ketika menerima telepon dari sales asuransi. Kita nggak kenal sama yang nelpon. Telpon datang tanpa konfimasi, tiba-tiba menelepon dari kantor marketing mereka di Jakarta ~ini dilihat dari nomor telepon yang mereka gunakan~, sedangkan kita ada di Lampung. Mereka nggak peduli kita lagi ngapain, tau-tau minta waktu mau ngomong. Kalau dibilang lagi sibuk, masih nanya jam berapa bisa ditelepon lagi. Sejauh ini, belum ada yang nanya jam berapa bisa ketemuan.
Kalau dibilang mengganggu , ya.. bisa jadi. Kalau mau kita bilang mereka nggak tau malu, mungkin juga. Bagi saya , telemarketing membuat kita tidak nyaman, karena kita dalam kondisi yang tidak siap menerima penjelasa ini itu, apalagi untuk memutuskan sesuatu.
Tapi sesungguhnya...., bisakah kita berpikir lebih positif ?
Telepon telemarketing asuransi tadi bisa kita anggap sebagai peringatan, warning. Bisa jadi itu peringatan yang datang dari Yang Maha Kuasa, yang menggerakkan seseorang untuk menelepon bahwa kita harus menyiapkan sesuatu untuk berjaga-jaga, dalam bentuk pertanggungan asuransi.
Perkara kita membeli dari orang yang menelepon tadi atau membeli dari orang lain..., itu soal pilihan. Setiap merk punya keunggulan masing-masing, setiap sales punya daya tarik masing-masing. Kita punya hak sepenuhnya untuk memilih.
Tapi kenapa sih... kita perlu menyiapkan pertanggungan asuransi ? Berserah diri kepada Tuhan YME emang nggak cukup ? Hidup - mati kita kan kehendak Allah SWT.
Aaahh.....apa iya siii...................... coba kita renungkan dulu.............
Minggu, 19 Juli 2015
REVIEW KEUANGAN KELUARGA PASCA LEBARAN
Rasa-rasanya ...., ketika menonton siaran pers Kemenag untuk
menentukan 1 Syawal 1436 H, sepertinya baru beberapa hari saja menonton siaran pers Kemenag untuk menentukan
1 Ramadhan 1436 H baru. Waktu berlalu begitu cepat, secepat perginya uang THR
yang dibagikan pada minggu pertama bulan Juli 2015.
Ngomong tentang gajian
dan THR, yang waktunya berdekatan ~ artinya kita menerima pemasukan hampir dua
kali lipat pada bulan ini~, secara teori kita bakal punya uang lebih
pada akhir bulan. Akan tetapi, coba kita
lihat kembali rekening kita seminggu setelah lebaran. Seperti apakah kondisinya ? Adakah sisa anggaran yang bisa kita alokasikan
untuk saving ? atau ternyata kurang lebih sama seperti kondisi kas sebulan yang
lalu ? atau bahkan justru defisit karena banyaknya biaya tak terencana ?
Ayo...., ndak ada salahnya kita review ..., apa saja yang
telah terjadi dalam sebulan terakhir.
1.
Puasa adalah momen untuk menahan diri dari lapar
dan haus , sebagai refleksi dari evaluasi dan pengendalian diri terhadap segala
hawa nafsu. Tapi apa yang terjadi ?
a.
Berbuka dan sahur dengan kualitas gizi yang lebih
baik itu sungguh lebih bagus, tapi apakah jumlahnya sesuai kebutuhan atau
sesuai keinginan ? Terkadang buka puasa seperti balas dendam, 2 mangkuk sop
buah ludes dalam 5 menit sebelum shalat magrib (itu saya.... ndak tau kalau
yang lain). Jika tidak sedang puasa, sop buah 1 mangkuk juga belum tentu seminggu
sekali kita nikmati. Sahur pun begitu..., kalo lauknya ndak istimewa rasanya
ndak “greng...” , padahal kalau sarapan pagi biasanya cukup nasi uduk polos.
b.
Iming-iming segala macam jajanan yang digelar
diberbagai tempat, yang khusus muncul di
bulan ramadhan juga sangat menggoda iman . Rasanya semua mau diborong dan
dimakan, kalau ndak beli rasanya kok aneh, wong dalam setahun cuma sebulan
munculnya. Jelas itu semua ndak gratis,
ada anggaran keuangan yang terlibat disitu.
2.
Godaan berikutnya adalah dari para saudagar ,
melalui marketingnya yang handal dan mumpuni, menggoda kita untuk untuk membeli
baju baru, sandal baru, sepatu baru, furniture baru, alat dapur baru dan
keperluan lain untuk hari raya. Konon ada cerita bahwa omset penjualan sebelas
bulan bisa dikalahkan oleh penjualan sebulan menjelang Idul Fitri.
3.
Pada minggu kedua bulan Ramadhan, kita mulai hobi berkunjung dari satu toko ke toko lain, satu
mall ke mall yang lain, untuk memilih dan membeli baju lebaran , juga keperluan untuk pulang kampung termasuk
oleh-oleh untuk keluarga dan kerabat yang ada di kampung halaman.
4.
Karena ingin dianggap sebagai orang yang
berhasil selama berada di tanah rantau, kadang kita tergoda juga untuk membeli gadget baru, perhiasan baru atau membeli
kendaraan baru untuk dibawa mudik.
5.
Berlibur di tempat wisata saat hari raya adalah salah
fenomena yang juga berkembang seiring tradisi mudik. Para pemilik tempat wisata
juga tak mau kehilangan kesempatan untuk menarik dana dari anggaran belanja
kita. Harga dan tarif pun tentunya segera disesuaikan ketika lebaran tiba. Maka
dari itu, berwisata pada hari raya
lebaran membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal dibanding hari biasa, karena
harga penginapan maupun barang jauh lebih tinggi.
Belajar dari lima cerita diatas, mungkinkah anggaran biaya
operasional selama Ramadhan dan ‘Idul Fitri kita rencanakan jauh hari sebelumnya
? sama seperti kita merencanakan dana
qurban untuk ‘Idul Ad ha nanti ? Jawabannya adalah sangat mungkin.
Ramadhan dan Lebaran sudah rutin kita jalani setiap tahun, sepanjang
umur hidup saya, belum pernah lebaran lompat tahun, sekalipun belum pernah (itu
untungnya Lebaran tidak ditetapkan pada tanggal
29 Februari)
Karena itu, besarnya biaya yang dikeluarkan setiap Ramadhan dan
Lebaran sudah kita sadari dan ketahui. Akan
lebih baik jika pengeluaran tersebut dicatat,
sehingga kita bisa membuat rencana anggaran biaya tahun berikutnya, dengan
mengevaluasi mana yang prioritas dan kebutuhan, serta mana yang cuma keinginan dan
gengsi. Jangan lupa untuk menambah beberapa persen dari total biaya tersebut,
sebagai antisipasi terjadinya inflasi atau kenaikan harga, yang setiap tahun
pasti terjadi, sama persis seperti lebaran.
Bila estimasi / anggaran pengeluaran sudah ada, maka para manajer
keuangan rumah tangga dapat mulai menyisihkan secara khusus dengan cara
menyimpan atau ditabungkan. Tentunya ini diluar kegiatan menabung untuk pendidikan
anak, tabungan resiko tidak terduga jangka pendek, proteksi asuransi, investasi
saham atau reksadana dan lain-lain.
Butuh komitmen kuat disini, ketika angkanya mencapai jumlah
tertentu, keperluan lain atau keinginan membeli barang
tertentu yang sebenarnya tidak menjadi prioritas akan sangat menggoda.
Demikianlah yang bisa kami bagi hari ini, dengan berbagi
seperti ini, saya sedang mengingatkan diri saya sendiri, dan berbagi wawasan
dengan anda yang mau meluangkan waktu untuk membaca dan mengomentari tulisan
ini. Semoga kita diberikan umur panjang untuk bertemu Ramadhan dan Lebaran
tahun depan, dengan rencana keuangan keluarga yang lebih baik.
Sabtu, 20 Juni 2015
Api yang membakar kesungguhan
Kecewa dan derita
adalah api yang membakar
kesungguhan kita
untuk mengeluarkan diri
dari kelemahan dan kemiskinan.
Lihat !
Eka Tjipta, Lim S. Liong, dan lain-lainya.
Apakah mereka lahir sudah terlanjur kaya ? atau mereka justru menjadi kaya setelah melalui berbagai kemiskinan dan kekurangan ?
Kadang kita terjebak dalam comfort zone sebagai orang yang mengira bahwa kita telah berada di tempat yang nyaman, padahal sesungguhnya belum nyaman.
adalah api yang membakar
kesungguhan kita
untuk mengeluarkan diri
dari kelemahan dan kemiskinan.
Lihat !
Eka Tjipta, Lim S. Liong, dan lain-lainya.
Apakah mereka lahir sudah terlanjur kaya ? atau mereka justru menjadi kaya setelah melalui berbagai kemiskinan dan kekurangan ?
Kadang kita terjebak dalam comfort zone sebagai orang yang mengira bahwa kita telah berada di tempat yang nyaman, padahal sesungguhnya belum nyaman.
Langganan:
Postingan (Atom)