Diary 17 Agustus 2015.
“Hari ini, tanggal 17
Agustus 2015, ternyata ada 15 teman facebook yang berulang tahun. Rekor baru
untuk ngucapin HBD, mendoakan semoga diberikan umur yang panjang, sehat dan
barokah.”
Membaca kembali diary itu, jadi teringat bahwa kelahiran
anak tanggal 17 Agustus jadi terasa istimewa, dirayakan rame-rame oleh seluruh
bangsa, di dalam dan di luar negeri. Seru.
Tidak mau ketinggalan, seorang temanpun memilih untuk melahirkan
anaknya secara caesar di tanggal tersebut, 17 Agustus 2015. Ketika periksa ke
bidan dan diketahui hamil, maka mulailah kesibukan untuk menentukan mau
melahirkan dimana ? di bidan atau dokter kandungan ? mau persalinan biasa atau
mau operasi caesar.
Ini cerita sang teman bersama istrinya.
Ketika kandungan menginjak
bulan ketiga, kami keliling kota Bandar Lampung untuk survei, mencari rumah
sakit yang cocok dihati, dan cocok di kantong tentunya. Cukup hati-hati siiih,
terutama dari sisi kantong, maklum karena perusahaan juga hanya menanggung
biaya persalinan dalam jumlah yang tidak banyak. Tapi kami tetap bersyukur, karena toh kami sekeluarga
memang sudah mempersiapkan.
Setiap hari minggu sore, jalan-jalan keliling kota, lihat –
lihat rumah sakit ibu dan anak. Membandingkan postur gedung, membandingkan
pelayanan dan keramahan petugasnya, fasilitasnya, dan tak terkecuali biayanya
dan siapa dokternya.
Sebulan berlalu, sudah lima rumah sakit disambangi, belum
juga mantab di hati. Tapi tak apa, demi
buah hati kami memang mesti berhati-hati.
Hari itu, dari arah Tanjung Karang kami menyusuri jalan
protokol di Jalan Diponegoro, sampai Masjid Al-Furqon berbelok ke Jalan dr.
Susilo, disitu merupakan area kantor pemerintah dan perumahan pegawai negeri era enam puluhan, Pahoman
namanya. Sebelum lampu merah, tiba-tiba terlihat papan nama praktek dokter,
cukup lebar dan banyak nama dokter disitu. Tapi aneh..., tidak terlihat ada
bangunan bernama rumah sakit disitu, yang ada bangunan mirip hotel atau
perkantoran yang mewah, berlapis kaca dengan selingan batu alam yang kokoh.
Akhirnya, kami berhenti
untuk memperhatikan lebih seksama. Ternyata ada pole sign yang menandakan bahwa itu rumah sakit, namanya RSIA Bunda
Asy-Syifa. Disitu ada dokter kandungan, ada dokter anak, dokter penyakit dalam.
Bangunan yang terlihat mewah dan menandakan ‘hanya untuk kalangan berduit’ membuat saya dan istri sedikit ragu.
Tapi tak apalah. Akhirnya kukatakan pada istri, “Kita kan bisa
nanya-nanya aja, kalau kita nggak mampu ya jangan periksa disini.” Dengan sedikit
rasa nggak pede, kami masuk lobby. Terlihat lampu kristal dan dinding marmer
yang menjulang tinggi membuat nyali kami semakin ciut.
Tapi, sapa ramah petugas security dan customer service
membuyarkan ‘kengerian kami’. Akhirnya obrolan pun mengalir dengan cair, kebetulan hari
minggu, tidak ada dokter spesialis yang
praktek. Jadi kemi leluasa untuk ngobrol dengan mbak customer service yang
ternyata seorang bidan. Kata istri saya, rasanya seperti konsultasi gratis. Mumpung
gratis jadi banyak nanya. Ketika obrolan sudah mengarah pada wilayah obrolan ibu-ibu, saya
pamit untuk keliling, melihat-lihat.
Tidak disangka , ternyata saya ndak dibiarkan sendirian
keliling, tapi ditemani seorang perawat yang menjelaskan ini itunya rumah
sakit. Ruang lobby dan pendaftaran menunjukkan aura yang elegan. Ketika menengok
sisi depan ruang dokter, kesan lembut dan ramah jadi lebih terasa oleh
sofa-sofa yang santai dan lembut, tv LCD yang besar dan bahan bacaan berjajar
di rak, yang sayangnya bukunya terkesan kurang terawat, berapa diantaranya kusut
dan sobek.
Masuk ke ruang rawat inap lebih terasa lagi, ndak seperti masuk rumah
sakit , tapi seperti masuk kamar hotel, dengan kamar mandi yang elegan. Yang
membedakan cuma tempat tidurnya. Kamar kelas dua pun sudah satu pasien satu
kamar, ndak seperti di rumah sakit lain. Tata ruangnya sungguh membuat saya betah untuk berlama-lama. Rapih,
bersih, lengkap, dan elegan selalu tercermin di tiap sudutnya.
Kata mbak perawat, ada kamar yang paling bagus, President
Suite namanya, waktu diintip ternyata mirip sama kamar hotel berbintang, view laut lagi. Luas, ada
sofa, meja makan, mini bar dan meja rias. Saya bilang woow...., berapa tuh
harganya ? Nggak mahal kok... kata mbak perawat yang dampingi saya sambil
menyebut sebuah angka, tapi kok nggak enak kalau ditulis disini.
Satu lagi selain elegan dan mewah. Kata mbak perawat, ada
beberapa peralatan yang jadi unggulan di rumah sakit ini. Yaitu peralatan untuk
perawatan bayi lahir prematur dan lahir kurang berat badan. Konon katanya baru
beberapa rumah sakit pemerintah yang punya alat sejenis di Lampung.
Saya pun turun kembali ke lobby, istri saya pun cerita bahwa
biaya persalinannya pun tidak semahal yang kita duga, ndak beda jauh sama rumah
sakit lain. Rasanya cukup sebanding dengan faslitas dan sarananya.
Akhirnya, sang teman pun rutin periksa hamil disitu, di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Asy-Syifa. Dan tanggal 17 Agustus 2015 pun menjadi pilihan untuk melahirkan dengan cara Operasi Caesar. Tak disangka, ternyata banyak orang lain yang juga memilih hari itu sebagai hari persalinan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Asy-Syifa. Ada 7 orang yang melahirkan disana pada hari itu.
Akhirnya, sang teman pun rutin periksa hamil disitu, di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Asy-Syifa. Dan tanggal 17 Agustus 2015 pun menjadi pilihan untuk melahirkan dengan cara Operasi Caesar. Tak disangka, ternyata banyak orang lain yang juga memilih hari itu sebagai hari persalinan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Asy-Syifa. Ada 7 orang yang melahirkan disana pada hari itu.
Demikian cerita dari seorang teman, yang waktu itu tidak sempat saya
kunjungi ketika berada di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Asy-Syifa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar