Ngomong-ngomong tentang kemakmuran, jadi inget tulisan mbah Dipo di pitutur.net .
Pada intinya, ukuran makmur hampir sama sublimnya dengan ukuran kaya. Betul kata mbah Dipo yang menggambarkan betapa makmur rasanya ketika waktu jadi bocah piyik dulu, bisa makan telor yang 1/4 kwadrat pada acara bancakan weton di kampung pinggiran Solo.
Di kampung saya pedhalaman Purworejo sana dulu juga begitu, saya juga ngalami. Among-among dino weton namanya. Tapi Alhamdulillah bahwa telornya bukan 1/4 kwadrat, tapi satu telor dibagi jadi 8 potong (telor ayam kampung, belum jaman ayam ras). Nuwun sewu, bukan bermaksud ngasorke yang 1/4 kwadrat, he.. hee... . Lha wong waktu itu kalau diundang jadi bolo among-among rasanya terhormat, jadi anak terpandang, dianggap bolo atau temen siempunya weton. Makmur rasanya bisa merasakan nikmatnya telor rebus yang sebulan sekali belum tentu ada. Kalau ndak diajak, malu dan terhina rasanya.
Saat ini, di kampung saya yang baru di Lampung, nggak ada lagi tradisi among-among dengan nasi urap dan telor seperdelapan. Tapi anehnya, anak saya yang berumur lima tahun sudah mempunyai ukuran yang berbeda soal makan pakai telor. Tiap kali minta makan pakai telor, bapak atau ibunya nanya, "Telornya diapain le.... ?", "Digoreng, tapi telornya dua lho...". Lhahh...... sekali makan 2 butir telornya, ayam ras lagi, lebih gedhe dari ayam kampung. Dan sepertinya makan dengan 2 telor adalah hal biasa. Sesuatu yang sudah menjadi biasa menjadi berkurang nilai kemakmurannya, jauh berbeda dengan telor seperdelapan yang baru bisa dicicipi ketika diundang among-among, meskipun secara kuantity jauh lebih sedikit .
Itu baru bicara kemakmuran dari telor seperdelapan, masih banyak lagi ukuran-ukuran kemakmuran yang bisa dibicarakan. Nantii....... insyaAllah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar