Jumat, 21 Agustus 2015

Rumah Sakit Pilihan



Diary 17 Agustus 2015.
“Hari ini,  tanggal 17 Agustus 2015, ternyata ada 15 teman facebook yang berulang tahun. Rekor baru untuk ngucapin HBD, mendoakan semoga diberikan umur yang panjang, sehat dan barokah.”
Membaca kembali diary itu, jadi teringat bahwa kelahiran anak tanggal 17 Agustus jadi terasa istimewa, dirayakan rame-rame oleh seluruh bangsa, di dalam dan di luar negeri. Seru.
Tidak mau ketinggalan, seorang temanpun memilih untuk melahirkan anaknya secara caesar di tanggal tersebut, 17 Agustus 2015. Ketika periksa ke bidan dan diketahui hamil, maka mulailah kesibukan untuk menentukan mau melahirkan dimana ? di bidan atau dokter kandungan ? mau persalinan biasa atau mau operasi caesar. 
Ini cerita sang teman bersama istrinya.
Ketika  kandungan menginjak bulan ketiga, kami keliling kota Bandar Lampung untuk survei, mencari rumah sakit yang cocok dihati, dan cocok di kantong tentunya. Cukup hati-hati siiih, terutama dari sisi kantong, maklum karena perusahaan juga hanya menanggung biaya persalinan dalam jumlah yang tidak banyak.  Tapi  kami  tetap bersyukur, karena toh kami sekeluarga memang sudah mempersiapkan.
Setiap hari minggu sore, jalan-jalan keliling kota, lihat – lihat rumah sakit ibu dan anak. Membandingkan postur gedung, membandingkan pelayanan dan keramahan petugasnya, fasilitasnya, dan tak terkecuali biayanya dan siapa dokternya.
Sebulan berlalu, sudah lima rumah sakit disambangi, belum juga mantab di hati.  Tapi tak apa, demi buah hati kami memang mesti berhati-hati.
Hari itu, dari arah Tanjung Karang kami menyusuri jalan protokol di Jalan Diponegoro, sampai Masjid Al-Furqon berbelok ke Jalan dr. Susilo, disitu merupakan area kantor pemerintah dan  perumahan pegawai negeri era enam puluhan, Pahoman namanya. Sebelum lampu merah, tiba-tiba terlihat papan nama praktek dokter, cukup lebar dan banyak nama dokter disitu. Tapi aneh..., tidak terlihat ada bangunan bernama rumah sakit disitu, yang ada bangunan mirip hotel atau perkantoran yang mewah, berlapis kaca dengan selingan batu alam yang kokoh. 
Akhirnya, kami  berhenti untuk memperhatikan lebih seksama. Ternyata ada pole sign yang menandakan bahwa itu rumah sakit, namanya RSIA Bunda Asy-Syifa. Disitu ada dokter kandungan, ada dokter anak, dokter penyakit dalam. Bangunan yang terlihat mewah dan menandakan ‘hanya untuk kalangan berduit’  membuat saya dan istri sedikit ragu. 

 
Tapi tak apalah. Akhirnya kukatakan pada istri, “Kita kan bisa nanya-nanya aja, kalau kita nggak mampu ya jangan periksa disini.” Dengan sedikit rasa nggak pede, kami masuk lobby. Terlihat lampu kristal dan dinding marmer yang menjulang tinggi membuat nyali kami semakin ciut. 

 
Tapi, sapa ramah petugas security dan customer service membuyarkan ‘kengerian kami’. Akhirnya obrolan  pun mengalir dengan cair, kebetulan hari minggu,  tidak ada dokter spesialis yang praktek. Jadi kemi leluasa untuk ngobrol dengan mbak customer service yang ternyata seorang bidan. Kata istri saya, rasanya seperti konsultasi gratis. Mumpung gratis jadi banyak nanya. Ketika obrolan sudah  mengarah pada wilayah obrolan ibu-ibu, saya pamit untuk keliling, melihat-lihat. 
Tidak disangka , ternyata saya ndak dibiarkan sendirian keliling, tapi ditemani seorang perawat yang menjelaskan ini itunya rumah sakit. Ruang lobby dan pendaftaran menunjukkan aura yang elegan. Ketika menengok sisi depan ruang dokter, kesan lembut dan ramah jadi lebih terasa oleh sofa-sofa yang santai dan lembut, tv LCD yang besar dan bahan bacaan berjajar di rak, yang sayangnya bukunya terkesan kurang terawat, berapa diantaranya kusut dan sobek. 
Masuk ke ruang rawat inap  lebih terasa lagi, ndak seperti masuk rumah sakit , tapi seperti masuk kamar hotel, dengan kamar mandi yang elegan. Yang membedakan cuma tempat tidurnya. Kamar kelas dua pun sudah satu pasien satu kamar, ndak seperti di rumah sakit lain. Tata ruangnya sungguh membuat saya betah untuk berlama-lama. Rapih, bersih, lengkap, dan elegan selalu tercermin di tiap sudutnya. 
Kata mbak perawat, ada kamar yang paling bagus, President Suite namanya, waktu diintip ternyata mirip sama kamar  hotel berbintang, view laut lagi. Luas, ada sofa, meja makan, mini bar dan meja rias. Saya bilang woow...., berapa tuh harganya ? Nggak mahal kok... kata mbak perawat yang dampingi saya sambil menyebut sebuah angka, tapi kok nggak enak kalau ditulis disini.
Satu lagi selain elegan dan mewah. Kata mbak perawat, ada beberapa peralatan yang jadi unggulan di rumah sakit ini. Yaitu peralatan untuk perawatan bayi lahir prematur dan lahir kurang berat badan. Konon katanya baru beberapa rumah sakit pemerintah yang punya alat sejenis di Lampung.
Saya pun turun kembali ke lobby, istri saya pun cerita bahwa biaya persalinannya pun tidak semahal yang kita duga, ndak beda jauh sama rumah sakit lain. Rasanya cukup sebanding dengan faslitas dan sarananya.

Akhirnya, sang teman pun rutin periksa hamil disitu, di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Asy-Syifa. Dan tanggal 17 Agustus 2015 pun menjadi pilihan untuk melahirkan dengan cara Operasi Caesar. Tak disangka, ternyata banyak orang lain yang juga memilih hari itu sebagai hari persalinan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Asy-Syifa. Ada 7 orang yang melahirkan disana pada hari itu.  
Demikian cerita dari seorang teman, yang waktu itu tidak sempat saya kunjungi ketika berada di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Asy-Syifa.

Senin, 17 Agustus 2015

Bersiap untuk pulang kampung setiap saat

Dikutip dari situs moslemforall.com : Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Bahwa Malaikat Maut Memperhatikan Wajah Manusia di Muka Bumi ini 70 kali dalam sehari. Ketika Izrail datang Merenungi Wajah Seseorang, didapati orang itu Sedang Bergelak-Ketawa. Maka Berkata Izrail : ‘Alangkah Herannya aku Melihat orang ini, Padahal Aku diUtus oleh Allah untuk Mencabut Nyawanya Kapan saja, Tetapi dia Masih Terlihat Bodoh dan Bergelak ketawa.”

Seorang Sahabat Pernah Bertanya : “Wahai Rasulullah, Siapakah orang Mukmin yang paling Cerdas ?” Rasululloh SAW Menjawab: “Yang paling banyak Mengingat Mati, Kemudian yang Paling Baik dalam Mempersiapkan Kematian tersebut, itulah orang yang paling Cerdas.
[HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy] – “MARI KITA SELALU INGAT ALLAH dan INGAT MATI dan JANGAN BER-SENANG2 YANG BERLEBIHAN”

Membaca artikel diatas, yang pertama harus kita lakukan adalah meyakininya. Kalau kita nggak meyakini hadits tersebut, rasa nya sulit untuk sadar bahwa kita harus bersiap kapanpun juga untuk menghadapi kematian. Kita diintai 70 kali dalam sehari, sholat saja cuma lima kali dalam sehari, masih ditunda-tunda juga, bahkan kadang lewat.

Tapi ngomong – ngomong, apa sih yang mesti kita siapkan untuk menghadapi kematian ?

  • Kematian ibarat orang pulang kampung. Orang pulang kampung untuk selamanya, jadi mesti bawa bekal berupa amal, ibadah dan kebajikan yang cukup untuk biaya hidup disana, karena acara disana adalah menikmati bekal yang kita bawa dari tanah rantau, kita nggak bisa lagi mengumpulkan bekal disana, yang bisa kita tunggu hanya kiriman dari anak-anak kita yang sholeh, ilmu yang bermanfaat dan amal jariyah yang kita tinggalkan. 
  • Sayangnya, pulang kampung yang ini tidak bisa dipastikan bahwa anak istri ikut pulang kampung bersamaan. Bisa jadi kita berangkat duluan dan anak istri masih tinggal di tanah rantau (dunia). Seorang kepala keluarga yang “pulang kampung” tanpa meninggalkan bekal yang cukup bagi anggota kelurga adalah sebuah kenestapaan. Bekal itu bisa berupa ilmu yang bermanfaat, pendidikan agama dan keimanan yang kuat. Yang tak kalah penting, warisan berupa harta benda untuk biaya hidup, biaya pendidikan dan segala kebutuhan dunia lainya, karena mereka yang kita tinggalkan pasti membutuhkannya.
Pertanyaan selanjutnya, sampai hari ini.... apa saja yang sudah kita persiapkan untuk diri kita, untuk anak dan istri kita ?




Minggu, 16 Agustus 2015

Enggan berasuransi

Membaca informasi yang dirilis Dewan Asuransi Indonesia berdasar data tahun lalu (2014), ditemukan fakta bahwa dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia, yang faham asuransi jiwa ada 18 %. Cukup lumayan sesungguhnya. Persoalannya, ternyata yang kemudian membeli dan memiliki proteksi asuransi baru 12 %. Artinya, yang 6 % pada ngapain ?
Contoh yang mirip, kita tahu bahwa merokok itu membahayakan kesehatan, tapi kita tak mampu untuk segera  meninggalkan kebiasaan mengisap rokok. Penginnya sih  berhenti merokok, tapi besok, besoknya lagi .... dan lagi..  Sama kasusnya, kita faham bahwa asuransi jiwa itu penting, tapi kenapa kita tidak segera memiliki polis asuransi ? Padahal semakin kita menunda, semakin tua umur kita, untuk mendapatkan uang pertanggungan yang sama, semakin mahal biaya preminya.
Kenapa sih kita enggan berasuransi ?
Alasannya adalah :
  1. Merasa bahwa masih banyak kebutuhan lain yang lebih urgent dibanding membayar premi, dalam arti kita masih punya hobi menunda-nunda. Kita tidak menyadari secara penuh bahwa “musibah keuangan” (financial disaster)  dapat terjadi kapan saja, tanpa bisa minta dispensasi untuk ditunda.
  2. Kita masih belum bisa berpikir seperti ini : “Yang akan menikmati uang premi yang kita bayarkan adalah perusahaan asuransi dan agen, kita tidak banyak berpikir tentang manfaat yang akan kita terima  saat memiliki polis dan tertimpa musibah. 
  3. Padahal , kita bisa berpikir seperti ini : "Dengan membayar premi secara tabarru’ (charity), kita telah berbagi resiko dengan nasabah lain yang memerlukan, berarti kita membantu meringankan beban orang lain. Wajar kalau perusahaan asuransi mengambil sebagian uang premi kita, karena mereka perlu bayar karyawan, bayar listrik, beli kertas dan lain lain untuk melayani kebutuhan kita. Wajar bahwa agen asuransi dapat komisi, karena mereka telah bersusah payah memberikan penjelasan tentang pentingnya asuransi kepada kita, menyediakan waktu ,  tenaga dan pikirannya ketika kita butuh konsultasi tentang asuransi dan membantu kita saat mengajukan klaim.” 
  4. Cerita tentang kasus salah beli asuransi oleh orang yang kita kenal membuat kita merasa bahwa asuransi itu mubazir, tidak bermanfaat. Padahal sesungguhnya kasusnya adalah salah beli, yang mana ini bisa disebabkan oleh agen yang tidak meminta data calon nasabah secara menyeluruh dan memberikan penjelasan berbagai macam produk asuransi secara detail. Dari sini muncul generalisasi bahwa asuransi tidak bermanfaat.
Demikian cerita ini, semoga bermanfaat.

Sabtu, 15 Agustus 2015

Ditelepon sales asuransi

Saya sedikit kaget ketika seorang teman datang ke ruangan kerja sambil  'misuh-misuh' nggak karuan, dan ketika saya tanya " Ada apa sih ....  ada yang nggak beres ? ditagih orang kantin ya ?" Ditanya dengan pertanyaan berganda , jawaban si teman pun berlipat banyaknya . " Itu lho..., bisa-bisanya orang bank XXXXX kasih nomor telpon saya  ke sales asuransi, jadinya bolak-balik ditelpon ditawarin asuransi..., udah bilang nggak mau masih juga ngotot, dibilang udah punya asuransi masih bilang yang ini beda, bisa double claim lah, premi bisa dinegosiasi lah. Dibilang lagi meeting masih ditanya kapan bisa ditelepon lagi , yaa Allaah.... kan mengganggu banget."    

Itulah respon kebanyakan kita ketika menerima telepon dari sales asuransi. Kita nggak kenal sama yang nelpon.  Telpon datang tanpa konfimasi, tiba-tiba menelepon dari kantor marketing mereka di Jakarta ~ini dilihat dari nomor telepon yang mereka gunakan~, sedangkan kita ada di Lampung. Mereka nggak peduli kita lagi ngapain, tau-tau minta waktu mau ngomong. Kalau dibilang lagi sibuk, masih nanya jam berapa bisa ditelepon lagi.  Sejauh ini, belum ada yang nanya jam berapa bisa ketemuan.

Kalau dibilang mengganggu , ya.. bisa jadi. Kalau mau kita bilang mereka nggak tau malu, mungkin juga. Bagi saya , telemarketing membuat kita tidak nyaman,  karena kita dalam kondisi yang tidak siap menerima penjelasa ini itu, apalagi untuk memutuskan sesuatu. 

Tapi sesungguhnya...., bisakah kita berpikir lebih positif ?

Telepon telemarketing asuransi tadi bisa kita anggap sebagai peringatan, warning. Bisa jadi itu peringatan yang datang dari Yang Maha Kuasa, yang menggerakkan seseorang untuk menelepon bahwa kita harus menyiapkan sesuatu untuk berjaga-jaga, dalam bentuk pertanggungan asuransi.

Perkara kita membeli dari orang yang menelepon tadi atau membeli dari orang lain..., itu soal pilihan. Setiap merk punya keunggulan masing-masing, setiap sales punya daya tarik masing-masing. Kita punya hak sepenuhnya untuk memilih.

Tapi kenapa sih... kita perlu menyiapkan pertanggungan asuransi ? Berserah diri kepada Tuhan YME  emang nggak cukup ? Hidup - mati kita kan kehendak Allah SWT.

Aaahh.....apa iya siii...................... coba kita renungkan dulu.............